Wednesday 8 July 2015

SIX

CHAPTER 1


Langkah kakinya terasa semakin berat. Dalam kegelapan itu ia berlari. Sesekali ia menengok ke belakang dan melihat segerombolan makhluk aneh dengan mata merah menyala. mereka masih mengejarnya. panik pun melanda gadis berjubah hitam dengan ornament biru itu. ia tidak tahu darimana asal makhluk aneh itu dan mengapa mereka mengejarnya. gadis itu terus berlari. jalan yang ia lalui semakin tak terlihat jelas. semak belukar dan akar pohon yang berumur ratusan tahun menghalangi langkahnya. ditambah lagi dahan pohon yang rendah sesekali menghambat langkahnya. udara disekitarnya pun semakin dingin. ada sesuatu yang tidak beres. gadis itu menengok kebelakangnya dan melihat makhluk aneh itu semakin bertambah banyak. Tubuh mereka berwarna hitam gelap, sama seperti kegelapan dalam hutan. Semakin panik. Itulah yang ia rasakan. Kakinya yang lincah berlari kini mulai kelelahan. Pikirannya mulai kabur, tidak fokus dengan apa yang dilewatinya. “Dhuaak”, tiba-tiba kakinya tersandung akar-akar tanaman. Dia pun jatuh terpental masuk ke semak-semak. Makhluk-makhluk itu pun semakin dekat dan bergerak dengan cepat. Gadis itu hanya pasrah, tidak dapat berbuat apa-apa karena tubuhnya sudah tidak kuat menahan sakit. Tiba-tiba, seorang pria bertubuh besar muncul di hadapannya. Begitu melihat pria itu, makhluk-makhluk itu pun langsung kabur. Baru saja mereka melihat sosok pria itu, mereka langsung takut dan tidak berani mendekat. Sepertinya si gadis itu mengenal pria itu dari aroma parfumnya. Lalu sebuah suara yang familiar bagi gadis itu berkumandang.


“Arian kamu tidak apa-apa kan?” Tanya pria itu.


“Paman?? Aku kira paman sedang menjaga rumah kita? Bagaimana kalau makhluk-makhluk aneh itu datang menyerang rumah kita??” Tanya si gadis itu sembari menahan sakit.


“Apalah arti sebuah rumah, kalau ternyata ada harta paman yang lebih berharga yang sedang terancam?” Kata pria itu sambil memeluk si gadis.


Pria tersebut lalu menggendong gadis itu keluar hutan melalui jalan setapak yang dipenuhi oleh semak belukar. pandangan mereka terganggu oleh kabut yang mulai turun, ditambah lagi matahari yang sudah terbenam. namun hal itu tidak menghambat langkah pria itu. Arian selalu takjub oleh pamannya yang hafal dengan setiap jalan di hutan. Mau seberapa sering ia kesana tetap saja ia tersesat dan membutuhkan waktu berjam-jam untuk keluar dari hutan itu.


Jalan yang mereka lewati semakin lama semakin membesar. semak belukar yang tumbuh disekitarnya pun mulai sedikit. sepintas terdengar suara alunan musik dan terlihat beberapa titik cahaya diujung jalan. beberapa saat kemudian mereka keluar dari hutan dan  dihadapkan oleh hantaran rerumputan hijau dengan bunga lili bersebaran. tak ada pohon yang menghalangi langit yang berhiaskan bintang. pria tersebut berjalan perlahan sembari menikmati semilir angin malam. ini bukan pertama kalinya ia harus menjemput Arian yang tersesat di hutan. sejak kecil Arian memang sering tersesat.


Suara alunan musik semakin jelas terdengar. pria itu berjalan menuju sebuah rumah dipinggiran kota. rumah itu tidak terlalu besar namun cukup luas untuk dua orang. disampingnya terdapat sebuah pohon willow. pohon itu menjadi tempat favorit Arian untuk bersandar dan beristirahat. dahannya yang rendah dan daunnya yang lebat menjadi penghalang sinar matahari disaat siang hari. tak jauh dari sana mengalir sungai kecil yang menjadi sumber pengairan ladang mereka. sungai tersebut merupakan anak sungai dari sungai Glyvils, sungai yang mengalir disekitar kota Vlegroria, kota dimana Arian dan pamannya tinggal.


“sekarang dimana paman menyimpan kuncinya?”, ujar pria paruh baya itu sembari merogoh kantong celananya dan Arian masih digendongnya.


“Ah ketemu!”, ujarnya lagi dengan senyum diwajahnya. Ia pun membuka pintu tersebut dan membawa Arian masuk.


Pria paruh baya itu menyandarkan Arian di kursi dan melihat luka di kaki Arian.


“Arian, maafkan paman. Seharusnya paman memberi tahu kamu untuk tidak melewati hutan itu. Hutan itu sangat berbahaya. banyak makhluk-makhluk seperti tadi yang berkeliaran di sana. Lain kali jangan lewat situ lagi ya.” Katanya sembari mengobati kaki keponakannya yang sedang terluka.


“ Sayang sekali. Padahal banyak kayu bakar di sana. Kalau di hutan lain susah, karena pohonnya besar-besar. Mana mungkin aku memakai kayu bakar dari pohon berdiameter 1 meter? Semakin banyak aku menebang pohon-pohon besar, Gehenna semakin menunggu kehadiranku untuk menyiksaku hahaha...aww...”, Tawa gadis itu di tengah rintihannya menahan sakit, "Lagi pula paman, kau harus berhenti memperlakukanku seperti anak kecil. Sebentar lagi aku kan 18 tahun."


“Hm? Umurmu mungkin 18 tahun tapi kelakuanmu seperti 9 tahun hahaha”, ledek pamannya yang hampir selesai mengobati kaki Arian.


“Paman, mana ada anak 9 tahun yang bisa melakukan levitation magic?”, sanggah Arian.


“Iya sayang, sekarang tidurlah. Bukankah besok kamu harus ke Floxaryy, School of Wizardy? Jangan sampai tidak masuk hanya karena luka.”, kata sang paman sambil  mengelus kepala Arian.


Mereka pun tidur di tengah suara jangkrik dan burung hantu yang berkumandang. Selimut mereka cukup tebal untuk menghalau udara dingin malam yang menusuk.


*****
‘Gelap.’


‘Disini sangat gelap.’


‘Aku dimana?’


‘Dingin.’


Di ruangan sangat lah gelap. hanya ada segelintir cahaya lilin di ujung lorong. Tak ada satu orang pun disana. sesekali terdengar suara langkah kaki. pintu ruangan itu terbuat dari baja tebal. begitu juga dengan dindingnya. udara disana dingin. dilangit-langit ruangan tersebut tergantung pipa-pipa. ditengah ruangan itu terdapat sebuah tabung besar. tabung tersebut memancarkan sinar kebiruan namun tidak terlalu terang. disekelilingnya dipasang mantra pelindung.


Pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka. Sesosok pria berjubah hitam memasuki ruangan itu dan berjalan mendekati tabung yang berada ditengah ruangan. ia tersenyum melihatnya.


‘Siapa?’

*****